Cari Blog Ini

Selasa, 31 Agustus 2010

rumah asep sambodja

oleh Asep Sambodja

Abdul Kohar Ibrahim adalah seorang Soekarnois sejati. Dalam novel Sitoyen Saint-Jean, A. Kohar Ibrahim (2008) memperlihatkan jati dirinya secara jelas, bahkan dengan penuh kebanggaan sebagai seorang Soekarnois. Ia menulis seperti ini:

Karena Presiden Republik Indonesia yang benar sebenar-benarnya adalah republiken Bung Karno, pembina bangsa, pejuang dan proklamator kemerdekaan yang antikolonialis dan neokolonialis serta imperialis. Sedangkan HMS adalah pengkhianat atasnya. Pengkhianatan yang mendatangkan bencana tragedi sampai pada menyengsarakan sebagian besar rakyat Indonesia. Salah seorangnya adalah diriku sendiri (Ibrahim, 2008: 11)

Seketika aku kangen pada BK. Sang Presiden Republik Indonesia, pembina bangsa dan pemimpin perjuangan kemerdekaan melepas belenggu feodalisme, kolonialisme dan neokolonialisme serta imperialisme. Presiden yang aku hormat hargai dan dicintai oleh rakyat Indonesia. Juga dihormat hargai oleh para pejuang kemerdekaan dan rakyat Asia Afrika. Pun, Presiden yang ahli pidato, penulis dan pencinta seni yang berjiwa besar (Ibrahim, 2008: 15).

Konkretnya, selain turba atau turun ke bawah demi lebih mengenal dan lebih mendorong maju perjuangan yang selaras dengan garis Bung Karno, juga menyusun ragam macam tulisan berupa reportase, esai budaya, juga kreasi prosa dan puisi. Yang, jika tidak dimusnahkan rezim militer fasis Orde Baru, tentu bukti-buktinya bisa dilacak di berbagai surat kabar dan majalah zaman itu yang tersimpan di Perpustakaan Nasional (Ibrahim, 2008: 20).

Kutipan di atas memperlihatkan betapa A. Kohar Ibrahim begitu gandrung dengan sosok Presiden Soekarno. Kecintaan Kohar kepada Bung Karno itu juga tercermin melalui cerpen-cerpennya yang terdapat dalam Laporan dari Bawah yang dihimpun oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008). Cerpen-cerpen itu berjudul “Danau Tigi Merah Berdarah”, “Ombak Terus Bergelora”, “Pesan”, “Penyergapan”, dan “Keinginan Seorang Perempuan”. Empat cerpen pertama berkisah tentang orang-orang yang berada di lini paling depan dalam pertempuran. Sementara cerpen “Keinginan Seorang Perempuan” berkisah tentang keinginan seorang istri yang sedang ngidam, yakni ia mengidam suaminya memanggul senjata.

Hampir semua tokoh dalam cerpen-cerpen itu menjadi anak wayang yang dimainkan sang dalang. Dalam arti, pengarang sangat berperan betul dalam cerita itu. Tokoh-tokohnya tidak diberi ruang ataupun kesempatan untuk berpikir, berbicara, dan bertindak menurut kata hati tokoh itu sendiri, melainkan semuanya tergantung pada sang pengarang sebagai dalang. Akibatnya, watak tokoh-tokohnya hampir sama pula. Dan pembaca harus membaca dengan sabar karena seperti mendengar dongeng yang hendak disampaikan oleh pengarang. Pembaca seperti menempati ruang sempit untuk berimajinasi dan berfantasi sendiri. Namun, pembaca diuntungkan dengan penggunaan kata dan bahasa yang bagus oleh pengarang.
Kecintaan Kohar kepada Bung Karno itu dicerminkan dengan pesan yang disampaikannya melalui cerpen-cerpennya. Dalam “Danau Tigi Merah Berdarah” Kohar bercerita tentang perjuangan membebaskan Irian Barat. Sementara dalam cerpen “Ombak Terus Bergelora”, Kohar menyinggung peristiwa konfrontasi dengan Malaysia. Kedua topik itu sangat relevan dan bersetuju dengan kebijakan Presiden Soekarno. Tokoh utama dalam kedua cerpen itu adalah pejuang yang selalu berada di garis depan. Sama halnya dengan tokoh utama dalam cerpen “Pesan” dan “Penyergapan”.
Ada yang menarik dalam cerpen “Danau Tigi Merah Berdarah” dan “Ombak Terus Bergelora”, yakni tokoh utamanya sama-sama tertembak di bagian lengan. Ada keberanian, ada semangat pengorbanan yang diperlihatkan tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpen A. Kohar Ibrahim. Saya kutipkan adanya kesamaan “nasib” dua tokoh utama dalam dua cerpen itu.

Rumah-rumah rakyat dibakar Belanda! Dengan gila dan biadab! Marius menyelisip di antara belukar, memberi aba-aba pada anak buahnya yang tersebar di tempat-tempat tersembunyi. Lalu memuntahkan peluru senjatanya ke arah musuh yang bertebaran. Suara jerit parau dan tangis yang menyakitkan hati tak terindahkan lagi. Tetapi tiba-tiba Marius menyeringai, dirasakan hangat dan panas pada lengannya yang ditembus peluru. Terhuyung-huyung ia menyelinap di balik batu-batu sambil menahan nyeri, lalu merangkak. Tetapi tak kuat... tubuhnya berpeluh dingin.
(“Danau Tigi Merah Berdarah”)

Ketika Fatimah sibuk mengurusi seorang yang terluka dekat sebuah pohon, tanpa diketahui musuh telah begitu dekat, peluru mendesing-desing di kiri kanan. Dan tiba-tiba ia menyeringai, dirasakan lengan tangannya yang kanan hangat. Dirabanya dengan tangan kiri, darah terkelucak, ketika itu matanya kunang-kunang. Dipejamkannya matanya, berdiri dan berusaha melangkah, tapi tak kuasa. Seorang anggota Laskar melihat dia, berteriak menyambar tubuhnya yang melayang hampir jatuh ke tanah.
(“Ombak Terus Bergelora”)

Saya merasakan nikmat membaca pada bagian-bagian seperti ini. Kohar mendeskripsikan dengan baik saat-saat sang tokoh tertembak. Dan pembaca mungkin menangkap gambaran bahwa orang yang tertembak akan “menyeringai” dan “merasakan hangat” terkena peluru. Kedua tokoh itu tidak dimatikan oleh pengarang, karena masih diandalkan untuk menceritakan kisah selanjutnya, karenanya pula kedua tokoh itu sama-sama terkena tembakan di bagian lengan yang memang tidak mematikan.
Dalam cerpen “Pesan” dan “Penyergapan”, Kohar memperlihatkan semangat patriotisme yang melekat pada tokoh-tokohnya. Di dalam kedua cerpen itu pula diungkapkan betapa menjijikkannya orang-orang yang mau menjadi mata-mata penjajah. Ternyata bahwa dalam perjuangan, masih saja ada orang yang mencari untung buat dirinya sendiri, bahkan merugikan teman-teman sebangsanya sendiri. Luapan kekesalan itu terbaca dengan terang dalam kedua cerpen itu.
Sebagaimana judulnya, “Pesan”, cerpen ini mengisahkan tertangkapnya Agam oleh polisi-polisi kolonial. Agam tertangkap karena ada mata-mata yang membocorkan tempat persembunyiannya. Meskipun tertangkap dan dijatuhi hukuman gantung, Agam tidak memperlihatkan wajah penyesalan kepada istrinya, Parsih. Ketika istrinya diberi kesempatan bertemu untuk terakhir kalinya, di situlah pesan-pesan Agam dikeluarkan secara beruntun.

“Parsih, kita selalu mimpikan untuk bebas. Alangkah rindunya kita pada kebebasan, lepas dari tindasan kemelaratan dan ketakutan. Dan aku bersama kawan-kawan dan rakyat lainnya melakukan semua itu karena satunya keinginan untuk bebas itu...
Parsih, jangan kau habiskan airmata hanya untuk menangisi aku. Pengadilan kolonial telah memutuskan, aku harus menjalani hukuman...
Parsih, relakan aku. Hanya aku pesan, nanti, kalau saatnya telah datang… kau sudilah tanami pohon bunga merah di atas makamku. Kembang Beureum. Ingatlah Parsih. Ini pintaku, keinginanku.”
(“Pesan”)

Sementara dalam cerpen “Penyergapan”, yang tertembak adalah rekan seperjuangan Mansur yang bernama Amin. Dalam melakukan aksi penyergapan itu, Amin buru-buru mendekati serdadu-serdadu Jepang yang bergelimpangan. Dia tidak memperhitungkan bahwa tentara Jepang yang menjatuhkan diri dan pura-pura mati itu hanyalah taktik mereka belaka. Ketika tahu Amin tertembak, Mansur pun kemudian melemparkan granat ke gerombolan serdadu Jepang, yang mengakibatkan semuanya mati.
Cerpen “Keinginan Seorang Perempuan” menggunakan setting di Angola yang tengah dijajah Portugis. Kohar ingin menggambarkan bahwa semua hasil kebun yang ada di negara tersebut sudah dikuasai pihak imperialis, karena itu dia tidak bisa memenuhi keinginan istrinya yang mengidam berbagai hasil kebun. Akhirnya, istrinya bisa mengerti dan mengidamkan sesuatu yang spesial, yakni meminta suaminya, Natsa, untuk angkat senjata melawan kaum penjajah.

Ketika aku kembali menemui Kakek Keita, kakek itu menyelangak. Berkata, “Apa yang tidak dikuasai oleh orang-orang Portugis atau Eropa dari hasil bumi Angola kita, Natsa? Hampir semua mereka kuasai!” Dan ketika mengucapkan ini nampak wajah kakek merah padam. Sambungnya, “Jangankan kopi, jagung, lada, dan kapas… sampai budak-budak pun mereka kuasai! Apapun emas, berlian, dan besi serta hasil-hasil tambang lainnya yang sangat bernilai harganya! Benda-benda itu memang dari bumi, hasil keringat rakyat Angola, tapi,” kata kakek menekankan, “oleh karena orang-orang kulit putih itu yang berkuasa, merekalah yang menikmati semuanya.”

“Memang aku mengidamkan sesuatu, putra kita, entah kenapa aku begitu ingin dalam hari-hari ini mereguk secangkir kopi murni dan mengunyah jagung muda yang manis dan gurih. Oleh karena belum lagi terpenuhi, kutekan sekuat hati keinginan itu. Aku lebih menginginkan yang lain: engkau menyandang bedil!”
(“Keinginan Seorang Perempuan”)


Dari beberapa kutipan di atas terlihat kemampuan seorang Kohar Ibrahim dalam bertutur dan bercerita. Kata-katanya sangat terjaga dan memikat. Pesan yang diusungnya sehaluan dengan garis kebijakan Presiden Soekarno, tokoh yang diidolakannya sejak kecil. Ia menyuarakan antiimperialisme, mengobarkan semangat berjuang dalam merebut Irian Barat (kini Papua) dan berkonfrontasi dengan Malaysia, serta rasa setia kawan dengan bangsa Afrika yang sama-sama terjajah. Kohar juga mengobarkan semangat berani berkorban dan sikap seorang patriot sejati, nasionalis tulen, demi kemerdekaan rakyat Indonesia.

Jumat, 06 Agustus 2010

sewindu sudah

Sewindu sudah lamanya waktu
Tinggalkan tanah kelahiranku
Rinduku tebal kasih yang kekal
Detik ke detik bertambah tebal
Pagi yang kutelusuri riuh tak bernyanyi
Malam yang aku jalani sepi tak berarti
Saat kereta mulai berjalan
Rinduku tebal tak tertahankan
Terlintas jelas dalam benakku
Makian bapak usirku kupergi
Hanya menangis yang emak bisa
Dengan terpaksa kutinggalkan desa
Seekor kambing kucuri
Milik tetangga tuk makan sekeluarga
Bapak tak mau mengerti
Hilang satu anak tuk harga diri
Aku pergi meninggalkan coreng hitam dimuka bapak
Yang membuat malu keluargaku
Ku ingin kembali mungkinkah mereka mau terima
Rinduku
Maafkan semua kesalahanku
Kursi kereta yang pasti tahu

belalang tua

Belalang tua diujung daun warnanya kuning kecoklat-coklatan
Badannya bergoyang ditiup angin
Mulutnya masih saja mengunyah tak kenyang-kenyang
Sudut mata kananku tak sengaja melihat belalang tua yang rakus
Sambil menghisap dalam rokokku
Kutulis syair tentang hati yang khawatir
Sebab menyaksikan akhir dari kerakusan
Belalang tua yang tak kenyang-kenyang
Seperti sadar kuperhatikan, ia berhenti mengunyah
Kepalanya mendongak keatas
Matanya melotot melihatku tak senang kakinya mencengkeram daun
Empat di depan dua di belakang bergerigi tajam
Sungutnya masih gagah menusuk langit berfungsi sebagai radar
Belalang tua masih saja melihat marah ke arahku
Aku menjadi grogi dibuatnya aku tak tahu apa yang dipikirkan
Tiba-tiba angin berhenti mendesir daunpun berhenti bergoyang
Walau hampir habis daun tak jadi patah
Belalang yang serakah berhenti mengunyah
Kisah belalang tua diujung daun yang hampir jatuh tetapi tak jatuh
Kisah belalang tua yang berhenti mengunyah
Sebab kubilang kamu serakah
Oo .. oo .. oo .. oo belalang tua diujung daun
Dengan tenang meninggalkan harta karun
Warnanya hijau kehitam-hitaman
Berserat berlendir bulat lonjong sebesar biji kapas
Angin yang berhenti mendesir
Digantikan hujan rintik-rintik
Aku yang menulis syair
Tentang hati yang khawatir
Tak tahu kapan kisah ini akan berakhir

bongkar

Kalau cinta sudah di buang
Jangan harap keadilan akan datang
Kesedihan hanya tontonan
Bagi mereka yang di perbudak jabatan
(*) O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar

O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar
Sabar, sabar, sabar dan tunggu
Itu jawaban yang kami terima
Ternyata kita harus ke jalan
Robohkan setan yang berdiri mengangkang
Kembali ke : (*)

Reff I :
Penindasan serta kesewenang-wenangan
Banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan
Hoi hentikan
Hentikan jangan di teruskan
Kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan
O, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar
, o, ya o ... Ya o ... Ya bongkar

Selasa, 03 Agustus 2010

kerbau dan kambing


seekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa dengan cara memasuki sebuah gua dimana gua tersebut sering digunakan oleh sekumpulan kambing sebagai tenpat berteduh dan menginap saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk. saat itu hanya seekor kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. saat kerbau masuk ke dalam gua, kambing jantan itu menundukan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya agar kerbau itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang singa. kerbau itu hanya melihat tingkah laku sang kambing. sedang diluar sana, sang sing aberkerliaran di muka gua mencari mangsanya. lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkahlakumu yang pengecut karena saya merasa takut kepadamu. saat singa itu pergi, saya akan memberimu pelajaran yang tidak akan kamu pernah lupakan. "

Rubah dan buah anggur


seekor rubah suatu hari melihat sekumpulanbuah anggur yang ranun bergantungan dari pohon anggur di sepanjang cabangnya. buah anggur itu terlihat begitu ranum, kelihatan sangat lezat dan berisi penuh, dan mulut sang rubah menjadi terbuka serta meneteskan air liur saat menatap buah anggur yang bergantungan. buah anggur itu bergantung pada dahan yang cukup tinggi, dan sang rubah tidak dapat mencapainya karena buah itu tergantung cukup tinggi. kemudian sang rubah mencari ancang-ancaqng dan berlari sambil melompat, tetapi kali ini sang rubah mawsih juga tidak dapat mencapai anggur tersebut. sang rubah mencoba untuk melompat terus, tetapi semua usaha yang dilakukannya sia-sia belaka. sekarang lalu ia duduk dan memandang buah anggur itu dengan rasa penasaran. "betapa bodohnya saya ," katanya. "disini saya terus mencoba untuk mengsmbil buah anggur yang kelihatannya tidak enak untuk dimakan. " kemudian sang rubah lalu berjalan pergi dengan perasaan yang sanat kesal. banyak orang yang berpura-pura mengacuhkan dan memperkecil arti sesuatu yang tidak dapat mereka capai.

Selasa, 27 Juli 2010

teh hare and tortoise


The Hare was once boasting of his speed before the other animals. "I have never yet been beaten," said he, "when Iput forth my fuul speed. I challenge any one here to race whit me."
the torotise said quietly," I accept your challenge." "that is a good joke," said the hare, Icould dance round you all thewy."
"keep your boasting till you've won"answered the torotise. "shall we race?"
So a course was fixeds and a start was made. the hare darted almost out of sight at once, but soon stooped and, to show his contempt for the tortoise, lay down to have a nap. the tortoise plodded on and plodded on, and when the hare aowke from his nap, he saw the tortoise just near the winning-post and could not run up in time to save the race.
then the tortoise said: "slow but steady proggres wins the rase."